Nur
Auliah
1601270017
4A-Perbankan
Syariah’16 Pagi
Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara
INFLATION
TARGETING FRAMEWORK
1.
Pengertian
Inflation Targeting Framework
Inflation targeting
adalah salah satu kerangka kertas kerja ( frame work ). Dengan adanya frame
work kerja lebih terarah dan efektif untuk mencapai suatu tujuan. Frame work
juga berfungsi untuk mengendalikan inflasi dengan adanya targeting otoritas
moneter menerapkan segala kebijakan operasi pasar.
ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai
dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai
dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang
rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai
definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat
dikategorikan sebagai “Inflation Targeting lite countries”.
Inflation
Targeting Framework merupakan kerangka kerja kebijakan moneter yang relatif
baru digunakan. Kerangka kerja kebijakan moneter pertama kali diterapkan oleh
Selandia Baru tahun 1990 dan kemudian semakin banyak negara lain (Chili,
Kanada, Brasil, Australia, Israel, Mexico, Korea, Thailand, Afrika Selatan,
Republik Ceko, Polandia, Hungaria, dan lain-lain) menerapkannya sebagai langkah
mendasar dalam memperkuat efektifitas penerapan kebijakan moneternya. Secara
umum, kerangka kebijakan ini diyakini dapat membantu bank sentral untuk
mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan menentukan sasaran kebijakan
moneter secara eksplisit dengan berdasarkan pada proyeksi dan target inflasi
tertentu ke depan. Bagaimana kerangka dasar inflation targeting tersebut
umumnya diterapkan di bank – bank sentral lain dan bagaimana langkah – langkah
yang ditempuh Bank Indonesia dalam penerapan kerangka kerja dimaksud akan
dijelaskan berikut ini.
Jika inflasi tampaknya
berada di bawah target, bank kemungkinan akan menurunkan suku bunga. Hal ini
biasanya (tidak selalu) memiliki efek dari waktu ke waktu mempercepat ekonomi
dan meningkatkan inflasi. UU No.23 Tahun 1999 secara implisit mengamanatkan
kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia mendasarkan pada kerangka kerja yang
dikenal dengan Inflation Targeting, yaitu :
1. Adanya pengaturan dan
pemahaman bahwa tujuan utama kebijakan moneter adalah kestabilan harga;
2. Adanya penetapan dan
pengumuman sasaran inflasi kepada masyarakat;
3. Adanya pengaturan bahwa
sasaran inflasi merupakan sasaran akhir dan sebagai dasar perumusan dan
pelaksanaan kebijakan moneter;
4. Adanya pemberian
independensi kepada Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan
moneternya;
5. Adanya kewajiban bagi Bank Indonesia
untuk menjelaskan pelaksanaan kebijakan moneternya kepada masyarakat sebagai wujudan azas
transparansi;
6. Adanya mekanisme akuntabilitas bagi
bank sentral untuk mempertanggungjawabkan dan dinilai kinerjanya dalam
pelaksanaan kebijakan moneter oleh DPR.
2.
Karakter Inflation
Targeting Framework
Ada tiga pakar sepakat dengan tujuan akhir
dari inflation targeting framework adalah kestabilan harga barang – barang,
mereka juga sepakat untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk mencapai target
itu.
3.
Penerapan Inflation
Targeting Framework
Dalam
penerapan ITF pemerintah tidak bisa langsung seenaknya menggunakan ITF sebagai
kebijakan moneter, tetapi pemerintah harus memenuhi syarat-syarat berikut :
A.
Menciptakan
independensi bank sentral.
Ada beberapa independensi yang dimiliki bank sentral, tapi yang terpenting
adalah independensi instrumen. Artinya, bank sentral memiliki kebebasan untuk
menentukan dan menggunakan setiap instrumen kebijakan tanpa diganggu oleh
kepentingan pihak lain ( eksekutif dan legislatif). Gangguan yang sering
terjadi berasal dari sisi fiskal, yaitu kebijakan pembiayaan defisit anggaran
melalui pencetakan uang baru (seignarage). Jika hal ini terjadi, maka sangat
sulit bagi bank sentral untuk mengontrol jumlah uang beredar (money supply)
yang memenuhi dua kepentingan sekaligus. Untuk alas an itu, maka dominasi
fiskal dalam model ITF merupakan suatu keharusan.
B.
Menghindari
target-target nominal selain inflasi.
Tidak adanya target nominal selain inflasi, misalnya target nilai tukar.
Secara teoritis dan empirik inflasi memiliki hubungan yang erat dengan nilai
tukar. Akibatnya, memilih target inflasi berarti mengorbankan target nilai
tukar. Jika inflasi yang dipilih untuk dijadikan target atau sasaran akhir
kebijakan moneter, maka perekonomian harus menerima konsekuensi dari berapapun
besarnya nilai tukar.
4. Alasan Pemilihan ITF
A. Pemilihan kerangka kerja kebijakan
moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
a) Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan
moneter yang sehat (sound).
b) Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.
c) Hasil riset menunjukkan semakin
sulit pengendalian besaran moneter.
d) Pengalaman empiris negara lain
menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa
meningkatkan volatilitas output.
e) Dapat meningkatkan kredibilitas BI
sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.
B. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral
hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan
pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara
keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai
kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi
yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).
C. Inflasi rendah dan stabil dalam
jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
(suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif
dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat,
sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di
masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena
tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit,
dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat
investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang
investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali
berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru
kebijakan yang pro pertumbuhan.
5.
Desain ITF
Sasaran
Inflasi
1. Sasaran inflasi sebagai sasaran
akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan
Bank Indonesia. Penetapan sasaran inflasi tersebut mempertimbangkan pengaruhnya
terhadap pertumbuhan ekonomi (trade-off) dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
2. Pemerintah setelah berkoordinasi
dengan BI telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun
2006, 2007, dan 2008 masing-masing sebesar 8% ±1%, 6%±1%, dan 5,0%±1%.
(Berdasarkan siaran pers : Rapat Koordinasi Bidang Makroekonomi tanggal 17
Maret 2006). Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan
untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3% agar
Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya
Indikator Kebijakan Moneter
1. Dalam merumuskan kebijakan moneter,
Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai
indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi,
besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara
keseluruhan.
2. Demikian pula, Bank Indonesia akan
selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh
Pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah
berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.
3. Analisis dan prakiraan berbagai
variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan
inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
Respon Kebijakan Moneter
1.
Tujuan dan
bentuk respon kebijakan moneter adalah sbb:
* Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).
* Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).
* Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate.
* Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap.
2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan
* BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rate rata-rate tertimbang hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.
* BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.
* BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka yang lebih panjang.
3. Proses penetapan respon kebijakan moneter
* Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan.
* Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.
* Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
* Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam RDG bulanan.
4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan
* BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.
* BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan:
1. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan
2. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
3. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1 bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.
Operasi Pengendalian Moneter
1. Berbeda
dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran operasional
pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal kebijakan
moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh
pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkat
efektivitas kebijakan moneter.
2. Pengendalian
moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar Terbuka
(OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities), (iii)
Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan (v)
Himbauan moral (moral suassion).
3. Pengendalian
moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada pada koridor
suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan
efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan
moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar