Minggu, 22 April 2018

EMF : INFLATION TARGETING FRAMEWORK


Nur Auliah
1601270017
4A-Perbankan Syariah’16 Pagi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

INFLATION TARGETING FRAMEWORK
1.      Pengertian Inflation Targeting Framework

Inflation targeting adalah salah satu kerangka kertas kerja ( frame work ). Dengan adanya frame work kerja lebih terarah dan efektif untuk mencapai suatu tujuan. Frame work juga berfungsi untuk mengendalikan inflasi dengan adanya targeting otoritas moneter menerapkan segala kebijakan operasi pasar.
                        ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai “Inflation Targeting lite countries”.
                        Inflation Targeting Framework merupakan kerangka kerja kebijakan moneter yang relatif baru digunakan. Kerangka kerja kebijakan moneter pertama kali diterapkan oleh Selandia Baru tahun 1990 dan kemudian semakin banyak negara lain (Chili, Kanada, Brasil, Australia, Israel, Mexico, Korea, Thailand, Afrika Selatan, Republik Ceko, Polandia, Hungaria, dan lain-lain) menerapkannya sebagai langkah mendasar dalam memperkuat efektifitas penerapan kebijakan moneternya. Secara umum, kerangka kebijakan ini diyakini dapat membantu bank sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan menentukan sasaran kebijakan moneter secara eksplisit dengan berdasarkan pada proyeksi dan target inflasi tertentu ke depan. Bagaimana kerangka dasar inflation targeting tersebut umumnya diterapkan di bank – bank sentral lain dan bagaimana langkah – langkah yang ditempuh Bank Indonesia dalam penerapan kerangka kerja dimaksud akan dijelaskan berikut ini.
                Jika inflasi tampaknya berada di bawah target, bank kemungkinan akan menurunkan suku bunga. Hal ini biasanya (tidak selalu) memiliki efek dari waktu ke waktu mempercepat ekonomi dan meningkatkan inflasi. UU No.23 Tahun 1999 secara implisit mengamanatkan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia mendasarkan pada kerangka kerja yang dikenal dengan Inflation Targeting, yaitu :
1.      Adanya pengaturan dan pemahaman bahwa tujuan utama kebijakan moneter adalah kestabilan harga;
2.      Adanya penetapan dan pengumuman sasaran inflasi kepada masyarakat;
3.      Adanya pengaturan bahwa sasaran inflasi merupakan sasaran akhir dan sebagai dasar perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter;
4.      Adanya pemberian independensi kepada Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneternya;
5.      Adanya kewajiban bagi Bank Indonesia untuk menjelaskan pelaksanaan kebijakan moneternya kepada masyarakat sebagai wujudan azas transparansi;
6.        Adanya mekanisme akuntabilitas bagi bank sentral untuk mempertanggungjawabkan dan dinilai kinerjanya dalam pelaksanaan kebijakan moneter oleh DPR.

2.      Karakter Inflation Targeting Framework
      Ada tiga pakar sepakat dengan tujuan akhir dari inflation targeting framework adalah kestabilan harga barang – barang, mereka juga sepakat untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk mencapai target itu.

3.      Penerapan Inflation Targeting Framework
          Dalam penerapan ITF pemerintah tidak bisa langsung seenaknya menggunakan ITF sebagai kebijakan moneter, tetapi pemerintah harus memenuhi syarat-syarat berikut :
A.    Menciptakan independensi bank sentral.
Ada beberapa independensi yang dimiliki bank sentral, tapi yang terpenting adalah independensi instrumen. Artinya, bank sentral memiliki kebebasan untuk menentukan dan menggunakan setiap instrumen kebijakan tanpa diganggu oleh kepentingan pihak lain ( eksekutif dan legislatif). Gangguan yang sering terjadi berasal dari sisi fiskal, yaitu kebijakan pembiayaan defisit anggaran melalui pencetakan uang baru (seignarage). Jika hal ini terjadi, maka sangat sulit bagi bank sentral untuk mengontrol jumlah uang beredar (money supply) yang memenuhi dua kepentingan sekaligus. Untuk alas an itu, maka dominasi fiskal dalam model ITF merupakan suatu keharusan.
B.     Menghindari target-target nominal selain inflasi.
Tidak adanya target nominal selain inflasi, misalnya target nilai tukar. Secara teoritis dan empirik inflasi memiliki hubungan yang erat dengan nilai tukar. Akibatnya, memilih target inflasi berarti mengorbankan target nilai tukar. Jika inflasi yang dipilih untuk dijadikan target atau sasaran akhir kebijakan moneter, maka perekonomian harus menerima konsekuensi dari berapapun besarnya nilai tukar.

4.      Alasan Pemilihan ITF
A.    Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :

a)      Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).
b)      Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.
c)      Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.
d)      Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output.
e)      Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.

B.   Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).

C. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

5.      Desain ITF

Sasaran Inflasi

1. Sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Penetapan sasaran inflasi tersebut mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi (trade-off) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masing-masing sebesar 8% ±1%, 6%±1%, dan 5,0%±1%. (Berdasarkan siaran pers : Rapat Koordinasi Bidang Makroekonomi tanggal 17 Maret 2006). Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3% agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya

Indikator Kebijakan Moneter
1.      Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.
2.      Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.
3.      Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

Respon Kebijakan Moneter
1.            Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sbb:
* Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).

* Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate.

* Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap.

2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan

* BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rate rata-rate tertimbang hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.

* BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.

* BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka yang lebih panjang.
3. Proses penetapan respon kebijakan moneter

* Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan.

* Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.

* Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.

* Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam RDG bulanan.

4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

* BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

* BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan:

1. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan

2. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.

3.  Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1 bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

                                    Operasi Pengendalian Moneter

1.      Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkat efektivitas kebijakan moneter.
2.      Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion).
3.      Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar