Nur Auliah
NPM : 1601270017
4A-Perbankan Syariah’16 Pagi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
OBLIGASI DAN SUKUK
1. Obligasi
Obligasi adalah suatu
istilah yang digunakan dalam dunia keuangan
yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang
obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon
bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketentuan
lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas
pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan
oleh penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap
di atas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi pemerintah Amerika
yang disebut "U.S. Treasury securities" diterbitkan untuk masa jatuh
tempo 10 tahun atau lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun
disebut "surat utang" dan utang di bawah 1 tahun disebut "Surat
Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun
yang diterbitkan oleh pemerintah disebut Surat Utang Negara (SUN) dan utang di bawah 1
tahun yang diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharan Negara (SPN).
Obligasi secara ringkasnya
adalah utang tetapi dalam bentuk sekuriti.
"Penerbit" obligasi adalah si peminjam atau debitur, sedangkan
"pemegang" obligasi adalah pemberi pinjaman atau kreditur dan
"kupon" obligasi adalah bunga pinjaman yang harus dibayar oleh
debitur kepada kreditur. Dengan penerbitan obligasi ini maka dimungkinkan bagi
penerbit obligasi guna memperoleh pembiayaan investasi
jangka panjangnya dengan sumber dana dari luar perusahaan.
Pada beberapa negara, istilah
"obligasi" dan "surat utang" dipergunakan tergantung pada
jangka waktu jatuh temponya. Pelaku pasar biasanya menggunakan istilah obligasi
untuk penerbitan surat utang dalam jumlah besar yang ditawarkan secara luas
kepada publik dan istilah "surat utang" digunakan bagi penerbitan
surat utang dalam skala kecil yang biasanya ditawarkan kepada sejmlah kecil investor.
Tidak ada pembatasan yang jelas atas penggunaan istilah ini. Ada juga dikenal
istilah "surat perbendaharaan" yang digunakan bagi sekuriti
berpenghasilan tetap dengan masa jatuh tempo 3 tahun atau kurang . Obligasi
memiliki risiko yang tertinggi dibandingkan dengan "surat utang" yang
memiliki risiko menengah dan "surat perbendaharaan" yang memiliko
risiko terendah yang mana dilihat dari sisi "durasi" surat utang di
mana makin pendek durasinya memiliki risiko makin rendah.
Obligasi dan saham keduanya adalah
instrumen keuangan yang disebut sekuriti namun bedanya adalah bahwa pemilik saham adalah
bagian dari pemilik perusahan penerbit saham, sedangkan pemegang obligasi
adalah semata merupakan pemberi pinjaman atau kreditur kepada penerbit
obligasi. Obligasi juga biasanya memiliki suatu jangja waktu yang ditetapkan di
mana setelah jangka waktu tersebut tiba maka obligasi dapat diuangkan sedangkan
saham dapat dimiliki selamanya ( terkecuali pada obligasi yang diterbitkan oleh
pemerintah Inggris
yang disebut gilts
yang tidak memiliki jangka waktu jatuh tempo.
2.
Sukuk
Sukuk (Arab:
صكوك, bentuk jamak dari صك Shak, "instrumen legal,
amal, cek") adalah istilah dalam bahasa Arab yang digunakan untuk obligasi
yang berdasarkan prinsip syariah. Dalam fatwa nomor 32/DSN-MUI/IX/2002, Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan
sukuk sebagai surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan emiten kepada pemegang
obligasi syariah yang mewajibkan emiten membayar pendapatan kepada pemegang
obligasi syariah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar
kembali dana obligasi saat jatuh tempo.[1]
Sukuk dapat pula diartikan dengan Efek Syariah berupa
sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan
yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas:
- kepemilikan aset berwujud tertentu;
- nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; atau
- kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
3.
Penerapan Sukuk Di Indonesia
Pasar keuangan di Indonesia pada
tahun 2008 akhirnya mencatatkan sejarah baru. Meski terlambat yaitu pada bulan
Mei 2008 , Pemerintah telah mengundangkan Undang- undang No. 19/2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau UU Sukuk Negara (sovereign sukuk). Hal ini patut diberikan apresiasi tinggi atas
upaya pemerintah dan DPR yang berhasil
menghasilkan UU Sukuk Negara ini. Dikatakan terlambat, karena perkembangan
sukuk di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai oleh swasta, meskipun pangsanya
masih kecil.
Dengan diberlakukannya UU Sukuk
Negara dan adanya penerbitan sukuk oleh pemerintah, itu berarti sukuk kini
menjadi instrumen pembiayaan yang diakui sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan investor terhadap sukuk kita, baik sukuk negara maupun sukuk
korporasi.
Sebagaimana disebut di atas,
perkembangan sukuk di Indonesia sesungguhnya bermula karena adanya inisiatif
dari swasta. Dukungan yang kurang dari pemerintah dan regulator terhadap
perkembangan sukuk ini, menyebabkan posisi Indonesia dalam pasar keuangan
syariah global tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Dengan
diberlakukannya UU Sukuk Negara, diperkirakan perkembangan pasar sukuk di
Indonesia akan lebih semarak dibandingkan sebelumnya. Terlebih lagi, minat
investor terhadap sukuk ini sangat besar, sebagaimana ditunjukan dari
perkembangan sukuk global saat ini.
Namun demikian, pasar sukuk di
Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, pasar keuangan syariah
di Indonesia tidak terlalu likuid. Penyebabnya, pangsa pasarnya yang relatif
kecil, yaitu kurang dari 5% dari seluruh sistem keuangan di Indonesia. Kecilnya
pangsa pasar keuangan syariah ini diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan
pasar sukuk domestik akan tetap terbatas. Oleh karenanya, dengan langkah perdana
pemerintah menerbitkan sukuk domestik , selanjutnya perlu dibuka pasar sukuk
global sebagai benchmark bagi penerbitan sukuk global lainnya, baik sovereign
sukuk maupun corporate sukuk.
Kedua, belum adanya kepastian
masalah perpajakan terkait dengan transaksi yang melibatkan investor sukuk.
Permasalahan perpajakan ini tidak hanya terkait dengan sukuk, namun menyangkut
transaksi keuangan syariah secara keseluruhan. Isu yang paling mengemuka adalah
adanya double taxation dalam transaksi keuangan syariah.
Ketiga, kebanyakan produk keuangan
syariah bersifat “debt-based” atau “debt- likely”. Padahal, idealnya
keuangan syariah adalah “profit-loss
sharing”. Ini terlihat dari komposisi tingkat kupon sukuk yang dibayarkan
masih mendasarkan pada tingkat suku bunga tertentu. Sehingga, tidak
mengherankan jika AAOIFI memberikan penilaian bahwa sekitar 85% sukuk belum
sesuai dengan syariah. Oleh karena itu, bagi Indonesia perlu pengembangan
inovasi dan struktur sukuk yang lebih beragam.
4. Dasar Hukum Sukuk
1. Al-Qur’an
Adapun dalil yang berkenaan dengan kebolehan Sukuk (obligasi syariah) penyusun
sarikan dari Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Berikut dalil-dalilnya:
Firman Allah SWT, QS. Al-Ma’idah [5]:1:
يَاْاَيُّهَااَّلَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا اَوْفُوْا بِاْلعُقُوْدِ
Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”
Firman Allah SWT, QS. Al-Isra’ [17]: 34:
وَاَوْفُوْا بِاْلعَهْدِ
اِنَّ اْلعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
Artinya: “......dan penuhilah4 janji; Sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan
jawabnya.
Firman Q.S. al-Baqarah
[2]: 275 :
Artinya : “orang-orang
yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
2.
Hadits
Hadis Nabi SAW yang digunakan sebagai dalil
dasar sukuk ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amar bin ‘Auf,
عن عمرو بن عوف المزاني قال رسول الله ص م : الصّلْح جائز بين الْمسلمين الا
صلْحا حرّم حلالا أَو أَحلّ حراما والْمسلمون علَى شروطهِم إلا شرطا حرّم حلالا أو
أحلّ حراما (رواه امام الترمذى)
Artinya : “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram.”
3. Qaidah Fikih:
Terdapat tiga kaidah
yang digunakan, yaitu :
a.
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
b.
“Kesulitan dapat menarik kemudahan”;
c.
الأصل فى العادات العفو فلا يحظر منه الا ما حرم الله
“Sesuatu yang berlaku
berdasarkan adat/ kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara
(selama tidak bertentangan dengan syariah).”
4.
Pendapat Ulama’
Dengan mempertimbangkan beberapa dalil diatas, akhirnya dikeluarkanlah
Fatwa dewan syari`ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi
syari`ah) adalah surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikelurkan emitten kepada pemegang obligasi syariah, tersebut berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”
Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya
yang memggunakan istilah bond, dimana istilah bond mempunyai makna loan
(hutang), dengan menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya karena biasanya
yang mendasari mekanisme hutang (loan) adalah interest, sedangkan dalan Islam
interest tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah
bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturanm di
Bapepam LK.
Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan
bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh si penjual namun
sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek keberadaannya) adalah
diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad
modern ini bermula.
5.
Perbedaan Obligasi dan Sukuk
1. Obligasi merupakan
surat berharga yang berupa pernyataan utang dari penerbit kepada investor.
Sedangkan sukuk merupakan surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah yang merepresentasikan kepemilikan investor atas asset yang menjadi
dasar penerbitan sukuk (underlying asset).
2. Penerbitan obligasi
tidak memerlukan adanya underlying asset. Sedangkan penerbitan sukuk memerlukan
keberadaan underlying asset sebagai dasar penerbitan dan sumber pembayaran
imbalan yang distruktur melalui suatu skema transaksi dengan menggunakan akad
syariah.
3. Penerbitan obligasi
tidak memerlukan landasan syariah. Sedangkan penerbitan sukuk memerlukan
landasan syariah, baik berupa fatwa atau pernyataan kesesuaian sukuk terhadap
prinsip-prinsip syariah.
4. Tidak ada pembatasan
secara syariah terkait penggunaan dana hasil penerbitan obligasi. Sedangkan
penggunaan dana hasil penerbitan sukuk hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah (halal).
5. Return atau imbalan
bagi pemegang obligasi adalah berupa bunga (interest) yang tidak terkait secara
langsung dengan tujuan pendanaannya. Sedangkan dalam sukuk, return yang
diberikan terkait dengan asset, akad dan tujuan pendanaannya. Return tersebut
dapat berupa imbalan yang berasal dari uang sewa (ujrah), fee margin, bagi
hasil atau sumber lainnya sesuai dengan akad/kontrak yang digunakan untuk
transaksi underlying.
6. Perdagangan obligasi di
pasar sekunder mencerminkan penjualan atas surat utang. Sedangkan penjualan
sukuk di pasar sekunder mencerminkan penjualan atas kepemilikan aset yang
menjadi dasar penerbitan.
7. Sebagai instrumen
syariah, sukuk memiliki basis investor yang lebih luas, mencakup investor
konvensional dan investor syariah. Sedangkan obligasi hanya bisa meraih
investor konvensional, dan tidak dapat dipilih sebagai instrument investasi
bagi para investor syariah.